- PEWINTENAN BUNGA / PEWINTEN SARI
Tahapan Awal Penyucian Diri untuk Pengayah dan Pelayan Dharma
Pengertian Umum
Pewintenan Bunga (juga disebut Pewinten Sari) adalah proses penyucian diri awal yang diberikan kepada umat Hindu yang akan berkegiatan di wilayah suci (nista/utama mandala) seperti pura atau griya.
Ini adalah tingkatan paling dasar dari pewintenan, bertujuan menyucikan diri lahir dan batin agar layak menjadi pengayah (pelayan upacara), penari wali, pesantian, atau anggota sekaa (seperti sekaa gong, sekaa santi, dll).
Tujuan Pewintenan Bunga
- Pembersihan awal untuk tugas-tugas keagamaan ringan.
- Menanamkan niat suci (satya) dalam berkegiatan di lingkungan suci.
- Membuka jalan spiritual sebelum menerima pewintenan tingkat berikutnya.
- Melatih kerendahan hati, disiplin, dan pengabdian pada kegiatan yadnya.
- Menjadi syarat dasar sebelum mebanten, nari wali, atau mesanti di pura.
Makna Filosofis
- Bunga melambangkan kesucian, keikhlasan, dan keindahan niat.
- Pewintenan ini menunjukkan bahwa seseorang sudah siap menjadi perantara dalam yadnya, walau belum sepenuhnya memahami ajaran dharma secara mendalam.
- Sari berarti “inti” atau “nilai suci”, sebagai simbol bahwa orang tersebut menyerap nilai-nilai dharma walau di tingkat awal.
Pemimpin dan Tempat Pelaksanaan
- Dipimpin oleh Pemangku (jarang oleh Sulinggih, karena ini bukan upacara tingkat tinggi).
- Dilaksanakan di pura, merajan, balai banjar, atau griya.
Upakara (Banten) Pewintenan Bunga
Upakara bersifat sederhana, namun tetap sarat makna:
- Banten Panglukatan – untuk pembersihan lahir batin
- Banten Pewinten Sari – berupa canang sari lengkap
- Banten Daksina – sebagai simbol pemujaan kepada Tuhan
- Banten Sesayut atau Segehan Putih – pemanggil kekuatan suci
- Tirta Pewinten Sari – air suci sebagai media penyucian
- Benang Tridatu – perlambang satwam, rajas, tamas (tiga guna)
Proses / Tahapan Upacara
1. Melukat (Pembersihan Diri)
- Dilakukan dengan air suci (tirta panglukatan).
- Bertujuan membersihkan fisik dan batin dari kekotoran sekala-niskala.
2. Mejaya-jaya
- Memohon restu kepada Ida Sang Hyang Widhi, para dewa, leluhur, dan guru spiritual.
3. Ngaturang Banten
- Persembahan dilakukan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa, terutama dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara (arah timur, warna putih).
- Doa atau mantra pendek biasanya diucapkan oleh pemangku.
4. Pemasangan Simbol Suci
- Benang tridatu di tangan kanan atau kiri
- Bunga putih di telinga kanan (wanita) / kiri (pria)
- Kadang dipasang tapak dara kecil di dahi
- Penyiraman Tirta Pewinten Sari
Waktu Pelaksanaan
- Tidak ada hari khusus, namun paling baik dilakukan pada:
- Hari Kajeng Kliwon
- Purnama / Tilem
- Hari Raya Saraswati
- Sasih Kapat – Sasih Kaenam (bulan spiritual penuh berkah)
Siapa yang Umumnya Diwinten?
- Penari wali (terutama anak-anak dan remaja)
- Penyanggra upacara
- Sekaa gong, sekaa arja, sekaa rejang
- Pengayah di griya atau pura
- Pesantian dan pembaca mantra
- Guru spiritual pemula atau pembelajar dharma
Makna Spiritual
- Pewintenan ini merupakan “pengaktifan benih dharma” dalam diri.
- Menyadarkan bahwa segala bentuk aktivitas suci harus dimulai dengan hati bersih dan niat tulus.
- Memberikan perlindungan rohani ketika berkegiatan di area suci dan menghindari mala sekala-niskala.
PENUTUP
Pewintenan Bunga / Sari adalah langkah pertama dalam jalan kesucian. Ia sederhana, namun sangat penting karena menjadi pintu masuk menuju kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Dengan pewintenan ini, seseorang menyatakan niat dan kesiapan diri untuk melayani dharma dan yadnya secara suci, disiplin, dan penuh tanggung jawab.
2. PEWINTENAN SARASWATI
Penyucian untuk Menyatu dengan Ilmu Suci dan Kekuatan Ucapan
Pengertian
Pewintenan Saraswati adalah salah satu bentuk penyucian diri (pawintenan) yang dilakukan untuk menyatukan diri dengan energi Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, seni, kebijaksanaan, dan kekuatan ucapan suci (mantra).
Pewintenan ini termasuk dalam tahapan awal, dan biasanya dijalani oleh:
- Calon pemangku
- Penekun ilmu Weda atau spiritual
- Pengayah di pura
- Pelajar rohani atau guru spiritual muda
Tujuan Pewintenan Saraswati
- Menyucikan indria, khususnya indria pengucapan (vāk) dan pikiran.
- Menyatu dengan energi Dewi Saraswati, sebagai sumber pengetahuan rohani dan kebijaksanaan.
- Menumbuhkan sikap sradha (keyakinan), bhakti (pengabdian), dan jnana (pengetahuan).
- Membuka jalan untuk menerima ajaran suci (tattwa, susila, upakara) secara utuh.
- Sebagai syarat lanjutan untuk naik ke pewintenan Dasa Guna dan seterusnya.
Makna Filosofis
- Dewi Saraswati adalah personifikasi dari Vāc (sabda suci) dan Vidyā (pengetahuan ilahi).
- Pewintenan ini menanamkan kesadaran bahwa pengetahuan adalah jalan menuju kebebasan (moksha).
- Ucapan yang suci adalah alat utama dalam spiritualitas, karena semua mantra dan doa diucapkan melalui ucapan yang terjaga.
Upacara dan Banten Pewintenan Saraswati
Pemimpin Upacara
Dilakukan oleh Pemangku senior atau Sulinggih, tergantung tradisi setempat.
Upakara (Banten):
- Banten Saraswati
- Banten Panglukatan
- Daksina Guru
- Banten Sesayut / Canang Genten
- Tirta Saraswati
- Bunga, benang tridatu, dan aksara suci Om
Tahapan Prosesi Pewintenan Saraswati
1. Melukat (Pembersihan Diri)
- Pembersihan secara lahir batin dengan tirta panglukatan.
- Dilakukan di pancoran suci atau di pura keluarga.
2. Mejaya-Jaya
- Memohon restu kepada para Dewa, Leluhur, dan Guru agar proses pewintenan berjalan dengan lancar.
3. Pemasangan Simbol Suci
- Benang tridatu di pergelangan tangan
- Bunga dan tapak dara di dahi dan dada
- Penulisan aksara suci “Om” di lidah dan kening
(melambangkan ucapan suci dan pikiran murni)
4. Ngaturang Banten Saraswati
- Persembahan banten khusus untuk Dewi Saraswati dengan puja-mantra.
- Disertai dengan mantra Saraswati Stava atau Saraswati Japa.
5. Penyiraman Tirta Saraswati
- Tirta dipercikkan ke seluruh tubuh dan diminum, untuk menyucikan tubuh, pikiran, dan ucapan.
- Kadang-kadang ada nyantri (mencicipi) air suci dan sedikit beras sebagai simbol penerimaan ilmu.
Mantra Terkait (Contoh Singkat)
Om Saraswatyai Namah
“Ya Saraswati, Dewa ilmu dan kecerdasan, sucikan ucapan dan pikiranku agar layak menerima ajaran-Mu.”
Kapan Pewintenan Ini Dilakukan?
- Bisa dilakukan setelah dewasa rohani atau menjelang tugas keagamaan.
- Umumnya juga dilakukan pada Hari Raya Saraswati, atau saat seseorang memulai pendalaman ilmu dharma.
Manfaat Spiritual Pewintenan Saraswati
- Pengendalian ucapan – tidak berkata kasar, bohong, atau menyakiti.
- Penguatan pikiran positif dan bijaksana.
- Siap menerima ilmu dan wejangan suci.
- Melatih disiplin spiritual sebelum naik ke tingkatan Dasa Guna.
PENUTUP
Pewintenan Saraswati adalah langkah awal yang sangat penting dalam membangun diri sebagai insan rohani. Ini bukan sekadar ritual, tapi awal dari transformasi batin: dari pribadi biasa menjadi penekun dharma yang sadar, murni, dan penuh welas asih. Ia membuka jalan untuk kehidupan spiritual yang lebih dalam.
3.Pewintenan Dasa Guna – Makna, Tujuan, dan Tahapan
Pengertian
Pewintenan Dasa Guna adalah salah satu tahapan penyucian rohani yang penting dalam jalan spiritual Hindu Bali.
Istilah “Dasa Guna” berasal dari:
- Dasa = sepuluh
- Guna = sifat, karakter, atau kemampuan.
Jadi, Dasa Guna mengacu pada sepuluh sifat dasar manusia yang harus disucikan dan dikendalikan dalam perjalanan spiritual. Pewintenan ini adalah proses untuk memurnikan diri dari sepuluh pengaruh negatif dan memantapkan sepuluh kualitas kebajikan dalam diri seseorang yang ingin mendalami aspek kerohanian lebih dalam.
Tujuan Pewintenan Dasa Guna
- Pembersihan rohani sebelum naik ke tahap pewintenan berikutnya (misalnya Ganapati).
- Mengendalikan sepuluh indria dan sifat-sifat negatif yang melekat pada manusia.
- Membentuk dasar karakter rohani yang stabil dan murni.
- Persiapan mental dan spiritual untuk menjalani laku tapa, brata, yoga, dan semadi.
Sepuluh Guna (Dasa Guna) yang Disucikan
Dalam konteks pewintenan, Dasa Guna sering kali merujuk pada sepuluh pengaruh atau alat indria (dasendriya) yang harus dikendalikan, yaitu:
A. Panca Jñānendriya (lima indria pengetahuan):
- Caksu – mata → melihat
- Srotra – telinga → mendengar
- Ghrāṇa – hidung → mencium
- Jihvā – lidah → merasakan rasa
- Tvak – kulit → meraba
B. Panca Karmendriya (lima alat tindakan):
- Vāk – ucapan → berbicara
- Pāṇi – tangan → memegang
- Pāda – kaki → berjalan
- Pāyu – anus → membuang
- Upastha – alat kelamin → reproduksi
Masing-masing dari sepuluh ini dianggap memiliki potensi untuk membawa seseorang menjauh dari dharmajika tidak dikendalikan. Oleh karena itu, melalui pewintenan Dasa Guna, seseorang dilatih untuk menguasai indriadan tidak diperbudak oleh keinginan duniawi.
Pelaksanaan Pewintenan Dasa Guna
1. Pemimpin Upacara:
Dilaksanakan oleh Sulinggih, biasanya oleh Pandita atau Rsi.
2. Upakara (Sarana Upacara):
- Daksina
- Banten Prayascita
- Banten Panglukatan
- Tirta Dasa Guna
- Banten Guru Piduka (untuk memohon maaf kepada guru atau leluhur)
- Banten Sesayut
3. Rangkaian Acara:
- Melukat (pembersihan diri dengan air suci)
- Ngaturang banten kepada Hyang Widhi
- Pawintenan (penyucian) dengan Tirta Dasa Guna
- Pemberian mantra oleh Sulinggih
- Nunas pangestu dan restu guru spiritual
Hasil yang Diharapkan
Setelah menjalani pewintenan Dasa Guna, seseorang:
- Memiliki pengendalian diri lebih kuat.
- Mampu membedakan keinginan duniawi dan kebutuhan spiritual.
- Siap untuk menerima ilmu spiritual tingkat lanjut.
- Layak untuk naik ke tingkat Pewintenan Ganapati atau menjadi Pemangku Madya.
Simbolisme dalam Kehidupan
Dasa Guna melambangkan langkah penting menuju kehidupan suci. Seseorang yang telah menjalani pewintenan ini dianggap telah:
- Melewati ujian pengendalian diri.
- Meninggalkan sifat adharma.
- Menjadi pribadi yang lebih disiplin dan bersih secara lahir batin.
4.Pewintenan Ganapati – Makna, Tujuan, dan Tahapan
Pengertian Umum
Pewintenan Ganapati adalah salah satu jenjang pewintenan tingkat lanjut, biasanya dijalani oleh calon pemangku utama, rohaniawan madya, atau calon Sulinggih (pendeta Hindu).
Nama “Ganapati” berasal dari Dewa Ganapati (Ganesha) — dewa pengetahuan, kecerdasan, dan pembuka rintangan. Maka, pewintenan ini dimaksudkan untuk memberikan kekuatan spiritual, pengetahuan, dan pembersihan batinyang lebih mendalam dibanding pewintenan sebelumnya.
Tujuan Pewintenan Ganapati
- Menyiapkan diri untuk menerima ajaran Weda secara utuh dan mendalam.
- Meningkatkan kecerdasan spiritual, ketajaman batin, dan disiplin diri.
- Menghilangkan rintangan batin (mala) seperti keinginan duniawi, kemarahan, kesombongan, dll.
- Sebagai syarat wajib sebelum naik ke Pewintenan Panca Rsi (Wiwa) dan Diksa Sulinggih.
Makna Filosofis Dewa Ganapati
Dewa Ganapati (Ganesha) adalah simbol:
- Vidyā (pengetahuan spiritual dan duniawi).
- Budhi (kecerdasan).
- Siddhi (kesuksesan spiritual).
- Vighna-Nāśaka (penghancur halangan).
Melalui pewintenan ini, energi suci Ganapati dimohonkan turun dan menyatu dalam diri si calon, agar dia siap menjalankan tugas spiritual dengan bijak dan tanpa halangan.
Syarat Pewintenan Ganapati
- Sudah melaksanakan:
- Pewintenan Dasa Guna
- Pewinten Saraswati
- Mendapat restu guru spiritual (Sulinggih atau Pandita).
- Menjalani masa brata sebelumnya, seperti puasa, mauna (diam), sembahyang rutin, dan menghindari aktivitas duniawi berlebihan.
- Memiliki pengetahuan dasar agama Hindu: tattwa, susila, upakara, dan lontar-lontar keagamaan.
Proses Upacara Pewintenan Ganapati
1. Pemimpin Upacara
Dilaksanakan oleh seorang Sulinggih Dwijati, yang bertindak sebagai Guru Nabe.
2. Upakara (Perlengkapan Banten) Umum
- Banten Panglukatan → untuk penyucian lahir batin.
- Banten Daksina Ganapati
- Banten Sesayut / Tumpeng Agung
- Banten Guru Piduka
- Tirta Ganapati → air suci yang telah di-mantra khusus.
- Banten Prayascita → sebagai permohonan pembersihan dosa atau kesalahan.
3. Tahapan Prosesi
- Melukat → pembersihan diri dengan tirta suci.
- Mejaya-jaya → memohon restu kepada leluhur dan Dewa-Dewa.
- Ngaturang banten Ganapati → memuja Dewa Ganapati dengan mantra khusus.
- Pewintenan → pemercikan tirta Ganapati dan pemasangan simbol suci (wastra putih, bunga, benang tridatu).
- Nunas Tirta Pengiwa dan Pengalusan Sukma → sebagai simbol penyatuan antara alam sekala dan niskala.
Manfaat Spiritual Pewintenan Ganapati
Setelah menjalani pewintenan ini, seseorang diharapkan:
- Mampu mengakses pengetahuan rohani secara lebih luas.
- Memiliki kekuatan untuk mengatasi rintangan batin dan luar.
- Siap untuk menerima ilmu tingkat tinggi dari Guru Rohani.
- Menjadi pemangku utama atau calon rohaniawan yang matang secara spiritual.
- Mulai mempraktikkan tapa, brata, yoga, dan semadi dengan lebih intens.
Nilai-Nilai yang Ditanamkan
- Satya → Kejujuran mutlak dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan.
- Dama → Pengendalian diri dan indria.
- Śraddhā → Keyakinan kuat pada ajaran suci.
- Abhaya → Rasa tidak takut dalam menjalani dharma.
Setelah Pewintenan Ganapati
Orang yang telah melaksanakan pewintenan Ganapati disebut telah:
- Siap secara rohani menjadi Wiku (petapa/pelayan dharma).
- Layak menerima pewintenan Panca Rsi sebelum naik ke Diksa (Sulinggih).
- Mulai menjaga laku spiritual ketat, termasuk pola makan, tutur kata, dan pikiran.
Penutup
Pewintenan Ganapati adalah jembatan penting menuju kehidupan suci sebagai pelayan dharma. Dengan memohon berkah dari Dewa Ganapati, seseorang tidak hanya menyucikan tubuh dan pikiran, tapi juga membangun fondasi spiritual kuat untuk menyongsong kehidupan sebagai pemangku utama atau calon pendeta (Sulinggih).
- Pewintenan Panca Rsi – Makna, Tujuan, dan Proses
Pengertian
Pewintenan Panca Rsi adalah tahapan penyucian spiritual yang tinggi dalam tradisi Hindu Bali. Ini merupakan tahap akhir sebelum seseorang menerima Diksa dan diangkat menjadi Sulinggih (pendeta Hindu).
Nama Panca Rsi merujuk pada lima maharesi agung yang menjadi simbol kebijaksanaan, kesucian, dan kekuatan rohani dalam agama Hindu.
Kadang pewintenan ini disebut juga Pewinten Wiwa, yang berarti “penyucian agung” bagi calon Sulinggih agar benar-benar siap secara lahir dan batin untuk menjadi dwijati (manusia yang “lahir kedua kali” dalam makna spiritual).
Tujuan Pewintenan Panca Rsi
- Penyucian total menjelang tahap Diksa (pentahbisan sebagai Sulinggih).
- Penyerapan energi spiritual dari kelima Rsi sebagai kekuatan pelindung dan pembimbing dalam tugas dharma ke depan.
- Menumbuhkan sifat Brahmanis: tapa (pengendalian), brata (pantangan), yoga (kesadaran), dan samadhi (penyatuan jiwa dengan Tuhan).
- Penyatuan batin calon sulinggih dengan guru rohani (Sulinggih Dwijati) dan niskala (energi ilahi).
Makna Simbolik Panca Rsi
Panca Rsi yang dimaksud bukan figur literal, tetapi simbol kekuatan spiritual yang menyatu dalam proses penyucian:
- Rsi Agastya – Lambang keteguhan dan kekuatan spiritual.
- Rsi Bhrigu – Lambang kebijaksanaan dan pengabdian.
- Rsi Vasishtha – Lambang penguasaan ajaran suci (Weda).
- Rsi Bharadvaja – Lambang kesucian tubuh, ucapan, dan pikiran.
- Rsi Gautama – Lambang disiplin dan tata laku dharma.
Para calon Sulinggih di-winten-i (disucikan) dalam semangat dan nilai-nilai kelima Rsi ini, agar kelak memiliki sifat ideal pendeta sejati: suci, teguh, bijak, dan penuh welas asih.
Pelaksanaan Pewintenan Panca Rsi
Pelaksana Upacara
- Dilaksanakan oleh minimal tiga Sulinggih Dwijati, yang sudah mapan secara spiritual. Satu bertindak sebagai Guru Nabe, dan dua lainnya sebagai Saksi Dwijati.
Waktu Pelaksanaan
- Biasanya dilaksanakan beberapa hari hingga minggu sebelum upacara Diksa (nunas Brahma Widhi).
- Harus dilandasi niat tulus, persetujuan guru rohani, serta kesiapan spiritual calon Sulinggih.
Rangkaian Upacara & Upakara (Perlengkapan)
Tahapan Umum:
- Melukat (pembersihan lahir batin) – Dengan tirta panglukatan dan mantra pemurnian.
- Mejaya-jaya – Minta restu kepada Dewa, leluhur, dan guru spiritual.
- Ngaturang Banten Panca Rsi – Persembahan kepada kelima Rsi.
- Tirta Panca Rsi – Air suci khusus yang di-mantra oleh Sulinggih dan dipercikkan ke tubuh calon.
- Pemakaian simbol suci – Pengenaan wastra putih, bunga, dan aksesoris suci.
- Pengucapan Satya Semaya (sumpah spiritual) – Komitmen calon Sulinggih untuk hidup suci dan berdharma.
Syarat Calon Pewinten Panca Rsi
Untuk bisa menjalani pewintenan ini, seseorang harus:
- Telah melewati pewintenan Ganapati dan Dasa Guna.
- Telah mendalami ilmu agama, terutama Weda, tattwa, susila, dan upakara.
- Menunjukkan kesiapan batin dan disiplin hidup.
- Mendapat restu dan bimbingan dari Guru Nabe (pembimbing utama rohani).
- Menjalani puasa, tapa, dan brata sebagai persiapan.
Makna Filosofis
Pewintenan Panca Rsi bukan hanya penyucian simbolis, tapi:
- Menghimpun kekuatan dharma dari ajaran para Rsi dalam tubuh dan batin calon.
- Mematangkan spiritualitas sebelum “lahir kembali” dalam diksa.
- Momen transformatif, meninggalkan kehidupan duniawi dan sepenuhnya mengabdi pada jalan suci.
Peran Setelah Pewintenan Panca Rsi
Setelah melalui tahap ini, calon sudah disebut:
- Wiku Wiwa atau Wiku Bhiseka – seorang yang siap menerima “dwijati” (kelahiran spiritual).
- Menjalani masa persiapan pendek (upawasa, tapa) sampai waktu Diksa tiba.
- Sudah bisa memimpin persembahyangan kecil, mendampingi upacara spiritual bersama guru.
Penutup
Pewintenan Panca Rsi adalah tahapan spiritual yang sangat sakral dan hanya dijalani oleh mereka yang siap menapaki jalan moksha melalui kehidupan suci sebagai Sulinggih. Tahapan ini bukan hanya proses upacara, melainkan bentuk lahirnya nilai-nilai luhur Hindu ke dalam jiwa manusia, yang kelak menjadi pembimbing umat menuju jalan dharma.
6. Pewintenan Bhawati – Penyucian Agung Sebelum Diksa
Pengertian
Pewintenan Bhawati adalah proses penyucian spiritual dan pematangan batin terakhir yang dilakukan sebelum seseorang menerima Diksa (upacara pendewaan menjadi Sulinggih).
Kata “Bhawati” berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti “Ibu Semesta”, atau aspek feminin ilahi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam konteks ini, Bhawati adalah perwujudan dari energi sakti (kekuatan spiritual), yang sangat penting bagi keseimbangan rohani seorang calon pendeta.
Tujuan Pewintenan Bhawati
- Menyelaraskan energi maskulin dan feminin dalam diri calon Sulinggih.
- Mematangkan kesucian jiwa dan keteguhan batin menjelang diksa.
- Sebagai penguatan terakhir sebelum menyatu dengan Brahman dalam status dwijati (kelahiran spiritual).
- Menghubungkan calon Sulinggih secara batin dengan kekuatan ilahi Ibu Bhawati (Shakti).
Makna Filosofis
- Bhawati adalah perwujudan Prakriti (alam, energi kosmik, kekuatan hidup), yang merupakan pasangan dari Purusha (kesadaran ilahi).
- Dalam filsafat Hindu, kehidupan dan kesadaran hanya bisa eksis bila Purusha dan Prakriti bersatu. Maka, Bhawati sangat penting dalam proses spiritual calon sulinggih.
- Pewintenan Bhawati memastikan bahwa calon Sulinggih telah mencapai keseimbangan rohani total — tidak hanya disiplin dan tahu, tapi juga welas asih dan peka terhadap kekuatan ilahi yang melingkupi alam semesta.
Upakara (Banten) Pewintenan Bhawati
Perlengkapan ini biasanya disesuaikan dengan tradisi griya (keluarga Sulinggih), namun secara umum meliputi:
- Banten Bhawati Agung
- Banten Panglukatan Bhawati (air suci pembersihan khusus)
- Sesayut Bhawani / Bhawati
- Daksina Guru dan Daksina Bhawati
- Tirta Bhawati (air suci utama pewintenan ini)
- Banten Guru Piduka
- Banten Taksu
- Wija (simbol benih Brahman)
- Penyangaskara, sebagai simbol kelahiran baru
- Tapakan atau lambang Bhawati
Tahapan Upacara Pewintenan Bhawati
1. Melukat Khusus Bhawati
- Pembersihan lahir dan batin menggunakan tirta panglukatan Bhawati.
- Dilakukan di tempat suci atau paling tidak di merajan/griya dengan pemangku atau sulinggih pembimbing.
2. Mejaya-jaya
- Memohon restu kepada Dewa-Dewi penjaga arah mata angin, leluhur, dan Guru Nabe.
3. Ngaturang Banten Bhawati
- Persembahan khusus kepada Sakti/Bhawati, manifestasi kekuatan Tuhan sebagai Ibu Semesta.
- Sering disertai nyanyian/mantra Sakti (pujian kepada Durgā, Parwati, atau Saraswati).
4. Pemasangan Simbol-Simbol Suci
- Benang tridatu, tapak dara, bunga dan aksara suci.
- Simbol ini dipasang di titik-titik energi utama (cakra): ubun-ubun, dada, dan tangan.
- Calon sulinggih mengenakan wastra putih polos dan kepala tidak tertutup, melambangkan keterbukaan batin.
5. Pemercikan Tirta Bhawati
- Tirta utama diberikan oleh Sulinggih pembimbing.
- Air suci ini dipercaya mengandung kekuatan penyatuan Purusha–Prakriti, menghidupkan kembali “benih ilahi” dalam diri calon.
6. Pengucapan Mantra / Satya Semaya Bhawati
- Sumpah pribadi calon untuk mengabdi sepenuhnya kepada Dharma.
- Disaksikan oleh guru spiritual dan keluarga besar spiritual (sanghawadi).
Syarat Calon Pewinten Bhawati
- Telah menyelesaikan:
- Pewintenan Ganapati
- Pewintenan Panca Rsi/Wiwa
- Mendapat restu dari Guru Nabe dan Sulinggih senior.
- Telah menjalani masa tapa dan brata (pantangan dan meditasi).
- Memiliki penguasaan dasar ajaran suci: tattwa, susila, upakara, dan kejiwaan spiritual.
- Siap secara batin untuk menjalani Diksa dalam waktu dekat.
Makna Spiritual
Pewintenan Bhawati menandai bahwa calon Sulinggih telah:
- Mencapai keseimbangan antara kebijaksanaan dan kasih.
- Siap untuk menyatu dengan kekuatan ilahi.
- Siap mengakhiri ego dan memasuki jalan moksha sebagai pelayan dharma.
Tahapan Selanjutnya: Diksa (Dwijati)
Setelah Pewintenan Bhawati, biasanya hanya dalam hitungan hari atau minggu, calon sulinggih akan:
- Menjalani upacara diksa agung.
- Diberi nama wiku (biasanya menggunakan gelar Ida Pandita atau Ida Rsi).
- Resmi menyandang status Sulinggih Dwijati, dan hidup sepenuhnya untuk pelayanan spiritual umat.
PENUTUP
Pewintenan Bhawati adalah penyatuan energi ilahi, bukan sekadar ritual. Ia adalah tahap transformasi batin total, di mana seseorang yang telah membersihkan diri lahir-batin dinyatakan siap menjadi wadah Brahman, sebagai pendeta Hindu Bali yang suci, teguh, dan welas asih.
7. DWIJATI / SULINGGIH (UPACARA DIKSA)
Kelahiran Kedua Sebagai Pendeta Hindu (Wiku Dwijati)
Pengertian Dwijati & Sulinggih
Dwijati
Kata “Dwijati” berasal dari bahasa Sanskerta:
- “Dwi” = dua
- “Jati” = kelahiran
Dwijati berarti kelahiran kedua, yakni kelahiran secara spiritual. Kelahiran pertama secara biologis dari orang tua duniawi, dan kelahiran kedua melalui Diksa, dari Guru Rohani (Guru Nabe), sebagai anak spiritual dari Brahman.
Sulinggih
Merupakan gelar rohaniawan Hindu (pendeta) yang telah menjalani upacara diksa dan resmi menjadi Wiku Dwijati. Sulinggih menjalani kehidupan suci, tidak terikat duniawi, dan mengabdikan hidup sepenuhnya pada dharma, pelayanan umat, dan pencapaian moksha.
Tujuan Upacara Diksa (Pendewaan)
- Menyempurnakan perjalanan spiritual dari pewintenan dasar hingga tinggi.
- Menjadikan seseorang sebagai Wiku (orang suci), yang telah “lahir kembali” secara spiritual.
- Memberi wewenang penuh kepada Sulinggih untuk:
- Memimpin upacara yajña
- Membimbing umat
- Menyampaikan Weda dan mantra suci
- Mewinten calon rohaniawan
- Mewujudkan penggabungan diri dengan Brahman, meleburkan ego menjadi alat ilahi.
Syarat Calon Dwijati (Sulinggih)
- Telah menyelesaikan:
- Pewintenan Bunga/Sari
- Saraswati
- Dasa Guna
- Ganapati
- Panca Rsi/Wiwa
- Bhawati
- Telah menjalani tapa, brata, yoga, semadi minimal 42 hari atau lebih.
- Mendapat restu Guru Nabe (Sulinggih pembimbing).
- Siap lahir dan batin untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan mengabdi sepenuhnya.
- Dinyatakan sudah matang secara spiritual dan kejiwaan oleh Sulinggih senior.
Jenis-Jenis Sulinggih
- Pedanda Siwa → mengikuti ajaran Siwa Siddhanta
- Pedanda Buddha → mengikuti ajaran Buddha Mahayana
- Bhagawan → sering berasal dari sorohan Rsi Bhujangga
- Rsi Gana → sorohan khusus, biasanya memuja Dewa Ganesha
- Rsi Bhujangga → keturunan Bhujangga Waisnawa, guru spiritual
- Ida Pandita Mpu → istilah kehormatan untuk Sulinggih senior (lintas sekte)
Rangkaian Upacara Diksa
Upacara diksa tergolong ritual agung (utama) dan melibatkan banyak unsur:
Upakara / Banten Pokok
- Pedudusan Agung (tingkat utama penyucian)
- Banten Aji Saraswati
- Sesayut Dwijati
- Daksina Brahma Widhi
- Banten Taksu
- Banten Guru Piduka
- Wija (benih Brahman)
- Palinggih Brahma Widhi (simbol ilahi)
Tahapan Utama Prosesi Diksa
1. Melasti / Ngerukuk
- Pembersihan lahir batin di laut, danau, atau pancoran suci.
- Simbol “mati dari dunia” dan “dilahirkan kembali”.
2. Mejaya-Jaya
- Mohon restu kepada Dewa, Leluhur, dan para Guru Rohani.
3. Ngeresi / Penyucian Jiwa
- Calon memasuki tahap semi pengasingan, hanya fokus pada tapa dan japa mantra.
4. Pemasangan Wija (Benih Brahman)
- Dilakukan oleh Guru Nabe, sebagai simbol ditanamnya Brahman dalam diri calon.
5. Pemberian Nama Wiku
- Calon menerima nama rohani yang mencerminkan jalan dharmanya, misalnya:
- Ida Pandita Mpu Nabe Śivananda
- Ida Rsi Bhagawan Agni Jñanartha
6. Pewintenan Agung / Penobatan
- Simbol pemahkotaan sebagai Sulinggih:
- Mengenakan wastra putih polos
- Japa mala (tasbih kayu suci)
- Padma sebagai takhta simbol Brahman
- Daksina utama sebagai lambang pemberian dharma
7. Pengucapan Ajñā / Satya Semaya
- Sumpah spiritual penuh untuk hidup berdasarkan ajaran dharma, tidak menyalahgunakan wewenang spiritual.
8. Ngeratep / Pengasingan Singkat
- Beberapa hari setelah diksa, Sulinggih baru menjalani hidup menyepi untuk menyatu dengan Brahman, memperdalam mantra.
Ciri dan Kehidupan Seorang Sulinggih
- Berpakaian serba putih, sebagai lambang kesucian.
- Tinggal di griya atau tempat suci, menjalankan laku tapa, japa, yoga.
- Tidak bekerja untuk urusan duniawi, hanya melayani umat secara dharmika.
- Menghindari pamrih, kekuasaan, dan ambisi duniawi.
- Menjaga satya (kejujuran), ahimsa (tanpa kekerasan), dama (pengendalian).
Makna Spiritual Dwijati
- Seorang Dwijati bukan hanya lahir kembali, tapi menjadi perwujudan dharma hidup.
- Ia adalah guru, pelindung, dan penerang jalan umat.
- Segala ucapan dan tindakannya menjadi sumber tirta dan tuntunan hidup.
Penutup
Upacara Diksa adalah puncak kesucian seorang insan spiritual Hindu Bali. Dengan diksa, seseorang bukan hanya menjadi pendeta, tapi diakui sebagai titisan Brahman di dunia, yang sepenuhnya mengabdi demi dharma dan keselamatan umat.
TABEL HIERARKI PEMANGKU BERDASARKAN PEWINTENAN
Berikut adalah tabel hierarki pemangku berdasarkan tingkatan pewintenan dalam tradisi Hindu di Bali. Tabel ini menunjukkan urutan jenjang spiritual dan fungsional dari seorang pemangku, mulai dari tahap paling dasar hingga ke tingkat tertinggi sebelum menjadi Sulinggih (Dwijati).
No | Tingkatan Pewintenan | Sebutannya | Peran dan Fungsi Utama | Keterangan |
1 | Pewintenan Sari / Bunga | Pemangku Sari / Jro Alit | Menari wali, mesanti, pengayah banten, sekaa, dll. | Paling dasar, anak-anak/remaja juga bisa menerima. |
2 | Pewintenan Saraswati | Pemangku Pemula | Memimpin sembahyang ringan, menyiapkan tirta, mebanten sederhana. | Fokus penyucian ucapan dan pikiran. |
3 | Pewintenan Dasa Guna | Pemangku Madya / Pemangku Guna | Melayani pura secara penuh, mulai memimpin puja kecil. | Menguasai dasar tattwa, susila, dan mantra ringan. |
4 | Pewintenan Ganapati | Pemangku Utama / Pemangku Tapakan | Melayani pura besar, upacara besar, mulai terima pawisik. | Diberi wewenang spiritual lebih luas. |
5 | Pewintenan Panca Rsi / Wiwa | Pemangku Wiwa | Melayani sebagai pembantu sulinggih, melukat, dan upacara sekala-niskala. | Siap mendekati jalur spiritual tinggi. |
6 | Pewintenan Bhawati | Pemangku Agung / Jro Gede | Sudah bisa jadi pendamping Sulinggih, pembersih utama di griya. | Penyucian energi sakti – tahap akhir sebelum diksa. |
Diksa (Dwijati) | Sulinggih | Menjadi Wiku (Pendeta), memimpin semua upacara dan pemberi tirta. | Sudah tidak disebut pemangku – memasuki status Dwijati. |
Catatan Penting
- Istilah seperti “Pemangku Sari”, “Pemangku Madya”, “Pemangku Gede”, bersifat lisan dan lokal, tidak formal dalam semua tradisi, tapi sering digunakan masyarakat untuk menunjukkan tingkat pewintenan dan pengalaman.
- Tidak semua pemangku melanjutkan ke diksa. Banyak yang memilih berhenti di Ganapati atau Panca Rsi karena sudah merasa cukup atau karena alasan tanggung jawab sosial.
- Dalam praktiknya, tingkatan juga mencerminkan:
- Kedalaman ilmu spiritual
- Jenis mantra dan puja yang boleh dibawakan
- Tugas di pura atau griya
Hierarki Berdasarkan Gelar Umum (opsional)
Tingkatan | Gelar Umum (Lokal) |
Pemula | Jro Alit / Jro Sari |
Menengah | Jro Madya / Jro Mangku |
Senior / Tapakan | Jro Gede / Jro Tapakan |
Spirit Tinggi | Jro Wiwa / Ida Wiwa |
Calon Dwijati | Jro Bhawati |
Setelah Diksa | Ida Pandita / Ida Rsi |
PERSYARATAN NAIK TINGKATAN PEWINTENAN
1. Pewintenan Sari / Bunga (Tingkatan Dasar)
Kriteria | Syarat |
⬜ Usia minimal | Tidak wajib (anak-anak & remaja bisa) |
⬜ Tujuan | Siap ngayah, menari wali, mesanti, pengayah banten |
⬜ Kebersihan diri | Sudah melukat sekala-niskala |
⬜ Banten | Banten panglukatan, sari, daksina, canang |
⬜ Tirta | Tirta panglukatan & tirta sari |
⬜ Izin keluarga | Wajib jika di bawah umur atau mewakili keluarga |
⬜ Dilakukan oleh | Pemangku atau Sulinggih (opsional) |
2. Pewintenan Saraswati
Kriteria | Syarat |
⬜ Telah mewinten Sari | ✔️ |
⬜ Tujuan | Siap memimpin doa, belajar mantra, atau mesanti |
⬜ Disiplin rohani | Mulai latihan ucapan dan pikiran suci |
⬜ Banten | Banten Saraswati, daksina guru, tirta khusus Saraswati |
⬜ Penguasaan dasar | Mampu membaca/mantra Saraswati ringan |
⬜ Disetujui oleh | Guru pembimbing atau pemangku senior |
3. Pewintenan Dasa Guna
Kriteria | Syarat |
⬜ Telah mewinten Saraswati | ✔️ |
⬜ Tujuan | Mulai menguasai sepuluh aspek dasar spiritual (Dasa Guna) |
⬜ Komitmen spiritual | Disiplin dalam menjalani tapa dan laku sederhana |
⬜ Menguasai | Dasar tattwa, susila, dan puja harian |
⬜ Banten | Banten panglukatan utama, Dasa Guna, guru piduka |
⬜ Dinyatakan layak oleh | Guru rohani atau pemangku utama |
⬜ Latihan | Puasa, japa, yoga ringan (minimal 3 hari) |
4. Pewintenan Ganapati
Kriteria | Syarat |
⬜ Telah mewinten Dasa Guna | ✔️ |
⬜ Tujuan | Menguatkan pengendalian diri dan kekuatan spiritual |
⬜ Simbolis | Penyatuan dengan energi Ganesha (ilmu & penghalau halangan) |
⬜ Latihan | Tapa brata min. 7 hari, puja harian, japa Ganapati |
⬜ Banten | Banten Ganapati, daksina agung, pangresikan, guru piduka |
⬜ Kesiapan mental | Sudah mulai menerima pawisik atau tugas besar di pura |
⬜ Restu | Guru nabe atau pemangku senior wajib memberi restu tertulis/lisan |
5. Pewintenan Panca Rsi / Wiwa
Kriteria | Syarat |
⬜ Telah mewinten Ganapati | ✔️ |
⬜ Tujuan | Mematangkan spiritualitas sebelum Bhawati atau diksa |
⬜ Penguasaan | Tattwa mendalam, japa harian, menyucikan tirta |
⬜ Tugas | Sudah bisa mendampingi Sulinggih atau menjadi penglukat |
⬜ Banten | Banten Panca Rsi, banten siwa budha, daksina utama |
⬜ Tapa | Minimal 11–21 hari tapa/japa/semedi |
⬜ Restu | Dari Guru Nabe atau Ida Sulinggih senior |
⬜ Disiplin tinggi | Sudah mampu menjaga ucapan, pikiran, dan tindakan secara penuh |
6. Pewintenan Bhawati
Kriteria | Syarat |
⬜ Telah mewinten Panca Rsi | ✔️ |
⬜ Tujuan | Persiapan akhir menuju Dwijati / Sulinggih |
⬜ Tapa berat | Tapa brata yoga semadi min. 21–42 hari |
⬜ Penguasaan spiritual | Sudah bisa nganteb tirta, makta mantra tingkat tinggi |
⬜ Tugas | Mendampingi sulinggih, mimpin pujawali, nyuci wewalungan |
⬜ Banten | Bhawati lengkap, daksina utama, pasupati simbolis |
⬜ Restu mutlak | Dari Guru Nabe, Sulinggih lintas soroh atau griya |
⬜ Tes spiritual | Kadang melalui pawisik, sabda guru, atau proses niskala |
⬜ Penilaian | Disepakati oleh dewan guru atau sanggraha spiritual |
Catatan Umum untuk Semua Tingkatan:
Persyaratan Tambahan | Penjelasan |
⬜ Tidak terikat hutang karma berat | Telah menyelesaikan masalah adat atau pribadi |
⬜ Tidak menyalahgunakan wewenang spiritual | Selalu taat pada dharma |
⬜ Mendapat izin keluarga / pasangan | Khusus untuk pewinten Bhawati dan diksa |
⬜ Bersedia ngayah tanpa pamrih | Pelayanan spiritual adalah yadnya, bukan mata pencaharian |
⬜ Menjalani kehidupan bersih dan sadhu | Tidak meminum alkohol, berjudi, bohong, dll. |
JENIS-JENIS PEMANGKU DI BALI
1. Pemangku Pura
Tugas:
- Memimpin persembahyangan di pura desa, pura dalem, pura puseh, dan pura-pura lain milik masyarakat.
- Ngaturang banten, tirta, dan puja mantra saat piodalan atau upacara lainnya.
Ciri khas:
- Diangkat oleh krama desa adat atau sekaa pura.
- Punya kewajiban ngayah tetap, bukan karena soroh (keturunan) melainkan niat dan panggilan batin.
2. Pemangku Griya
Tugas:
- Melayani persembahyangan di griya (tempat tinggal para Sulinggih).
- Menyiapkan upakara untuk Sulinggih, atau memimpin upacara di rumah para Brahmana.
Ciri khas:
- Sering berasal dari soroh Brahmana atau Bhujangga, tapi belum menjalani diksa.
- Tahu tattwa dasar, susila, dan upacara.
3. Pemangku Balian / Pemangku Tapakan
Tugas:
- Menjadi media niskala (wadah pawisik) untuk Dewa atau Leluhur melalui tapakan / kerauhan.
- Melayani upacara melukat, nyapuh gering, penglukatan, nunas tamba, dll.
Ciri khas:
- Menerima pawisik atau pewisik dari taksu atau Dewa-Dewi tertentu.
- Biasanya disebut Balian Pewisik / Balian Usada, namun tetap menggunakan istilah “Pemangku” dalam konteks pelayanan pura.
4. Pemangku Padmasana / Pemangku Sanggar Surya
Tugas:
- Memimpin persembahyangan di Padmasana, sanggah kemulan, atau tempat suci di rumah.
- Biasanya dilakukan oleh kepala keluarga atau tokoh adat yang menerima pewintenan.
Ciri khas:
- Tidak selalu diangkat formal, bisa juga perorangan yang menjalani pewintenan dan berfungsi untuk keluarga sendiri.
5. Pemangku Ida Ratu / Pemangku Ida Bhatara / Jro Tapakan
Tugas:
- Menjadi wadah utama untuk Ida Bhatara saat nunas ical, nunas ida, atau saat Ida “masolah” (kerauhan).
Ciri khas:
- Sering disebut juga Jro Tapakan.
- Berfungsi saat pemelastian, ngusaba, atau ngereh Ida Bhatara.
- Bisa laki-laki atau perempuan.
6. Pemangku Kahyangan Tiga
Tugas:
- Melayani persembahyangan di Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem yang ada di desa adat.
Ciri khas:
- Umumnya ditunjuk dan disepakati melalui paruman adat.
- Memiliki tugas berkelanjutan yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan tri murti (Brahma, Wisnu, Siwa).
7. Pemangku Mandala (Pemangku Kawitan / Leluhur)
Tugas:
- Melayani persembahyangan pada sanggah kawitan, pelinggih leluhur, atau pura soroh (pura keluarga besar).
Ciri khas:
- Biasanya berasal dari kekerabatan atau trah soroh tertentu.
- Menjadi penjaga keberlanjutan dharma leluhur, walaupun tidak memimpin upacara besar.
8. Pemangku Sulinggih (Asisten Spiritual Sulinggih)
Tugas:
- Membantu Sulinggih saat upacara yajña besar seperti manusa yadnya, pitra yadnya, dll.
- Menyiapkan tirta, upakara, mantra, dan perlengkapan lainnya.
Ciri khas:
- Dapat menjalankan fungsi teknis spiritual, meski tidak punya wewenang menyampaikan mantra utama.
PERBEDAAN PEMANGKU DENGAN SULINGGIH
Aspek | Pemangku | Sulinggih |
Status rohani | Belum Dwijati | Sudah Dwijati (melalui Diksa) |
Wewenang | Terbatas (ritual ringan) | Penuh (ritual besar & pemberian tirta utama) |
Pakaian | Putih sederhana, tanpa padma | Putih lengkap, ada padma & simbol Brahman |
Pemujaan | Iswara / Dewa-Dewi | Brahman dalam semua manifestasi |
Pendidikan | Bisa otodidak atau turun-temurun | Harus berguru (nabe) dan menjalani tapa-brata |
PENUTUP
Pemangku memiliki peran penting sebagai penjaga keseimbangan spiritual masyarakat, terutama dalam lingkup pura, griya, dan rumah tangga. Meski tidak berdiksa, mereka adalah rohaniawan sejati dalam laku pengabdian, yang menjalankan tugas spiritual dengan tulus dan berkesinambungan.
Jenis-jenis pemangku yang sudah disebut sebelumnya sudah cukup lengkap untuk klasifikasi utama di Bali, berdasarkan fungsi dan tempat pengabdian. Namun, dalam praktik adat dan tradisi niskala, masih ada variasi atau sub-jenis yang bersifat lokal, kultural, atau soroh tertentu.
Penjelasan Lengkap:
Dalam struktur umum, jenis-jenis pemangku dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok besar:
1. Berdasarkan Lokasi Pengabdian
Jenis | Keterangan |
Pemangku Pura | Melayani pura umum: pura desa, pura puseh, pura dalem, dll. |
Pemangku Griya | Melayani griya Brahmana atau Bhujangga. |
Pemangku Padmasana / Rumah Tangga | Melayani sanggah pribadi atau keluarga. |
Pemangku Kahyangan Tiga | Khusus di Pura Puseh, Desa, dan Dalem milik desa adat. |
Pemangku Kawitan / Leluhur | Melayani pelinggih kawitan atau pura soroh/trah. |
2. Berdasarkan Fungsi Rohani dan Niskala
Jenis | Keterangan |
Pemangku Tapakan / Ida Ratu / Jro Tapakan | Wadah pewisik atau kerauhan Ida Bhatara saat upacara. |
Pemangku Balian (Campuran) | Melayani secara spiritual dan penyembuhan (kadang disebut balian pamangku). |
Pemangku Penyabaran Tirta / Tirta Yatra | Fokus pada pelayanan tirta dan pesucian umat. |
Pemangku Pemargi Dewa Yadnya | Memimpin upacara Dewa Yadnya (melaspas, ngenteg linggih, dll). |
3. Berdasarkan Keturunan / Soroh
Jenis | Keterangan |
Pemangku Ida | Menyandang gelar karena berasal dari soroh Ida (Brahmana) namun belum diksa. |
Jro Mangku | Umum di kalangan non-Brahmana, diangkat karena pengabdian dan pewisik. |
Jro Gede / Jro Dukuh | Beberapa desa menyebut pemangku senior atau pewaris leluhur demikian. |
Jro Kebayan / Jro Pasek | Dalam konteks desa Bali Aga, beberapa pemangku juga disebut dengan istilah ini, khusus dalam budaya tertentu. |
Catatan Tambahan
- Ada juga sebutan seperti Pemangku Sari, Pemangku Alit, atau Pemangku Madya, yang menandakan tingkatan pengalaman atau tingkat pewintenan.
- Di desa Bali Aga, pemangku bisa menyatu dengan sistem adat dan disebut dengan nama lokal, tapi tetap memiliki fungsi serupa.
KESIMPULAN
Sudah sangat lengkap secara umum, tetapi:
- Masih bisa bervariasi tergantung wilayah, soroh, dan tradisi lokal.
- Beberapa desa atau soroh memiliki istilah atau struktur pemangku yang unik, namun secara fungsi tetap sejalan dengan klasifikasi utama di atas.